contoh pajak pertambahan nilai,materi pajak pertambahan nilai,perhitungan pajak pertambahan nilai,ppn tidak dikenakan apabila,transaksi yang tidak dikenakan pajak pertambahan nilai adalah,uu ppn,tarif ppn,contoh soal ppn.
Pajak Pertambahan Nilai atau disebut juga PPN (singkatan) berlaku sejak tanggal 1 Januari 1986. PPN adalah pajak tidak langsung yang dibebankan pada pengeluaran, yaitu oleh mereka yang mengkonsumsinya.
Beberapa karakteristik Pajak Pertambahan Nilai adalah: merupakan pajak biasa, bersifat multifase (tahap pembayaran PPN) dan matriks masyarakat.
Dengan diberlakukannya Pajak Pertambahan Nilai, pajak transaksi dicabut dan pajak Kereta Api dan Pariwisata dihapuskan.
Siapa yang dikenakan PPN?
Kewajiban Pajak Pertambahan Nilai tunduk pada:
• Perorangan atau badan hukum yang secara mandiri melakukan kegiatan produksi, perdagangan atau penyediaan jasa.
Apa yang dikenakan PPN?
• Transfer barang dan jasa yang diberikan di wilayah nasional dengan pembayaran.
• Impor barang.
Tujuan PPN adalah pengenaan pajak umum atas konsumsi.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak yang dikenakan atas setiap barang dan jasa yang memiliki pertambahan nilai dalam peredarannya dari konsumen dan produsen. PPN disebut juga Value Added Tax (VAT) atau Goods and Service Tax (GST).
PPN merupakan jenis pajak tidak langsung karena iuran pajaknya disetorkan oleh pihak lain atau pedagang yang bukan penanggung pajak. Dengan kata lain, penanggung pajak tidak perlu menyetorkan langsung pajak yang ditanggungnya.
Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPN Dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Pihak yang berhak memungut PPN adalah pengusaha yang sudah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). PKP bisa orang pribadi maupun badan yang memiliki jumlah penjualan barang atau jasa lebih dari Rp4,8 miliar per tahun.
Hal tersebut sesuai dengan PMK Nomor 197/PMK.03/2013. Bagi pengusaha yang pendapatannya masih belum mencapai Rp4,8 M, maka tidak wajib menjadi PKP. Namun, pengusaha itu boleh memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dengan memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku.
Agar dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP), maka seorang pengusaha, baik itu wajib pajak pribadi ataupun wajib pajak badan harus memenuhi syarat subjektif dan objektif sebagai syarat menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Adapun poin-poin dalam syarat subjektif dan objektif adalah sebagai berikut:
- Syarat objektif
Syarat objektif dalam peraturan perpajakan merinci mengenai gambaran kegiatan usaha, yakni sebagai berikut:
- Mengisi formulir pengajuan PKP (formulir di-cap jika permohonan adalah badan usaha)
- Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) Direktur atau Pemilik Usaha
- Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Direktur atau Pemilik Usaha
- Fotokopi NPWP perusahaan
- Fotokopi Surat Izin Tempat Usaha (SITU) dan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)
- Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP)
- Fotokopi akta perusahaan
- Surat kuasa bermaterai (jika pengurusan selain direktur atau pimpinan)
- Syarat subjektif
Syarat subjektif dalam peraturan perpajakan merinci mengenai gambaran kegiatan usaha, yakni sebagai berikut:
- Laporan keuangan bulan terakhir (neraca atau laporan laba rugi)
- Daftar aset perusahaan secara terperinci
- Foto tempat kegiatan usaha
- Denah lokasi kegiatan usaha
Dalam PPN, dikenal juga istilah pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran merupakan PPN yang dipungut saat PKP menjual Barang Kena Pajak (BKP)/Jasa Kena Pajak (JKP). Sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayarkan ketika PKP membeli, memperoleh Barang Kena Pajak (BKP)/Jasa Kena Pajak (JKP).
Pelaporan PPN dilakukan oleh PKP paling lambat pada akhir bulan berikutnya dan bisa di laporkan melewati https://web-efaktur.pajak.go.id/.
Tarif PPN
Setiap jenis pajak memiliki tarif pajaknya masing-masing. Begitupun dengan PPN. Tarif PPN sebagai berikut:
- Tarif umum 10% untuk penyerahan dalam negeri
- Tarif khusus 0% diterapkan atas ekspor Barang Kena Pajak (BKP) berwujud maupun tidak berwujud, dan ekspor Jasa Kena Pajak (JKP).
- Tarif Pajak sebesar 10% dapat berubah menjadi lebih rendah, yaitu 5% dan paling tinggi 15% sebagaimana diatur oleh Peraturan Pemerintah.
Cara Menghitung PPN
Untuk menghitung PPN, kita harus menggunakan rumus yakni: tarif PPN x Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau 10% x DPP. Agar lebih mudah memahami penggunaan tarif tersebut, mari kita lihat bersama contoh kasus di bawah ini:
Contoh:
- Eka merupakan PKP yang menjual BKP pada PT. Indah dengan harga Rp20.000.000. Maka, PPN terutang yang perlu disetorkan adalah:
PPN terutang: 10% x Rp20.000.000 = Rp2.000.000
Jadi, PPN Rp 2.000.000 menjadi pajak keluaran yang dipungut PT. Eka dari PT Indah adalah Rp 2.000.000.
Dasar Hukum PPN
Dasar hukum atas pengenaan PPN adalah Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Dalam UU PPN tersebut diatur hal-hal yang berkaitan dengan PPN seperti objek PPN, tarif PPN, tata cara penyetoran dan pelaporan, dan sebagainya.
Objek PPN
Berikut ini objek-objek yang dikenakan PPN:
- Penyerahan BKP dan/atau JKP di dalam daerah pabean yang dilakukan pengusaha.
- Impor BKP.
- Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
- Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
- Ekspor BKP berwujud atau tidak berwujud dan ekspor JKP oleh PKP.
- Ekspor JKP oleh PKP.